Selasa, 27 November 2012

SEKILAS TENTANG ADAT ISTIADAT SERTA KEBUDAYAAN BUNGO



KARAKTERISTIK WILAYAH KABUPATEN MUARA BUNGO
Wilayah adat Kabupaten Bungo yang kini kita kenal Kaabupaten Bungo pada masa pemerintahan Belanda dahulu, termasuk kedalam wilayah bekas Onder Afdeeling Muara Bungo. Disamping itu, sudah diketahui bahwa penduduk yang mendiami atau berdiam dalam bekas Onder Afdeeling Muara Bungo, menyebut dirinya orang batin.
Menurut H. M. Thaib, RH anggota penasehat Lembaga Adat Privinsi Jambi, dalam makalahnya menyebutkan orang batin itu adalah penduduk asli yang berasal dari Melayu Tua yang mendiami anak-anak sungai Batanghari.
1.2.1.     Pola pemukiman
Pada umumnya rumah di pemukiman asal ( desa ) berbentuk rumah adat, atapnya berbentuk kajang lako dengan bubung lekung. Rumah adat ini bertiang tinggi dan tiak terletak di atas sendi batu. Dibawah rumah adat menyimpan barang – barang atau keperluan rumah tangga.
1.2.2.     Adat membangun rumah
Pembangunan diatas tanah batin harus memberitahu kepala dusun atau Rio, dan tetap milik dan langsung diurus atau dipegang oleh batin.
Ada beberapa persyaratan penegakan rumah, yaitu memotong hewan dan darahnya dipercikkan pada tiang tengah, ada gantungan kelapa, tebu, pisang dan lain – lain, namun syarat – syarat seperti ini telah beransur menghilang. Begitu pula dari bentuk rumah itu sendiri, dari bentuk    bertiang tinggi, kini rumah itu tidak bertiang lagi ( disebut rumah depok )
1.2.3.     Kebudayaan tanah Adat/Marga/Ulayat
Di Kabupaten Bungo tanah Adat atau batin masih ada, pertama ; tanah – tanah menurut sepanjang batang air ke hilir dan ke hulu dusun, itu tanah batin untuk empat anak negeri, baumo atau beladang, tidak boleh ditanam dengan tanaman keras dan kedua ; hutan rimbo di talang itu kepunyaan batin setempat, menurut batas – batas tertentu dengan daerah – daerah sepadannya, keair nan bepadan lentak, ke darat nan bersepadan mentaro.
1.2.4.     Adat secara umum
Secara umum norma dan nilai adat istiadat yang dianut masyarakat Kabupaten Muara Bungo relatif sama dengan Kabupaten lain dalam Provinsi Jambi yaitu ”adat bersendi sarak, sarak bersendi kitabullah, sarak mengato adat memakai”. Namun demikian perbedaan – perbedaan itu terletak pada dialeg dan perbedaan arti atau pemakaian kata – kata tertentu yang dalam adat dikenal dengan ”adat samo iko pakai balain”. Oleh karena itu adat dipegang oleh ninik mamak secara turun temurun dan dipatuhi oleh penduduk yang berdiam dalam wilayah persekutuan Hukum Adat Bungo. Adat Istiadat itu tidak pernah bertentangan dengan peraturan-peraturan pemerintah, karena antara nenek mamak selaku pemegang adat selalu ada kerja sama dan saling pengertian dengan pihak pemerintah. Yang dikenal dengan seloko adat yang berbunyi : Adat ditangan Nenek Mamak Undang ditangan Rajo ( Pemerintah ).
Sebagai penuntun perikehidupan dalam masyarakat adil dan makmur, bahagia lahir batin didunia dan akhirat, maka dikenal dengan seloko adat yang berbunyi : Adat bersindi syarak, syarak bersendi kitabullah. Syarat mengato, adat memakai
Kedua seluko adat tersebut diatas memperlihatkan jalinan yang erat antara adat, agama dan aturan pemerintah. Demikian pula, antara pemimpin adat, ulama dan pemerintah. Dalam bahasa adat, ikatan yang erat itu disebut Tali nan bapintal tigo.
1.3. ADAT ISTIADAT DALAM MASA TRANSISI
Adat istiadat telah terbukti mampu mempersatukan masyarakat dalam menata kehidupan lebih baik, sopan, santun yang berdasarkan ” adat bersendi syara, sara bersendi kitabullah”.
Upacara – upacara adat di Kabupaten Muara Bungo pada pokoknya terdiri dari tiga macam :
1.     Upacara yang bersifat religius magis
2.     Upacara yang bersifat kebesaran
3.     Upacara yang bersifat karya
Keterkaitan dengan sociobiologis terutama merawat anak dan pendidikannya bahwa didalam adat dikatakan, baris di jawat dari nan tuo, halifah dijunjung dari nabi, manalah waris nan dijawat dari nan tuo utang/kewajiban orang tua kepada anak sebagai berikut
1.     Nuak ( nujuh bulan ) dan diazankan dikuping setelah anak lahir
2.     Mandi kayik ( akikah )
3.     Tindik dabung
4.     Sunat Rasul
5.     Mengantar anak mengaji ( pendidikan ) setelah berumur 7 tahun
6.     Mengantar anak kerumah tangga
Bahwa pada setiap kegiatan acara mulai dari nuak azan bayi baru lahir, mandi kayik, cukuran, akikah, tindik dabung dan sunat Rasul senantiasa diadakan acara – acara khusus, dan mempunyai makna – makna tersendiri, dimana sejak awal telah di isi dengan nuansa pendidikan agama. Sebagai cikal bakal membentuk pribadi yang luhur, bertaqwa, sopan santun, dengan arti kata mulai dari kandungan sudah dilakukan dengan didikan rohani dan jasmani dalam membentuk jati diri sebagai insan yang berbudi luhur dan bersopan santun terhadap kedua orang tua dan masyarakat dalam mengarungi kehidupan didunia dan akhirat, sesuai dengan tuntutan adat dan syara. ( Lembaga Adat Provinsi Jambi, 2003 : 81 )

4 komentar:

adat basandi syarak sarak basandi kitabulah .. adalah hukum yg diwarisi dari kerajaan pagaruyung islam hasil kesepakatan ulama dan kaum adat di bukit marapalam dan ini diadobsi oleh kerajaan islam diseluruh nusantara (malaysia : negeri sembilan baca sejarah asliyg masihdipegang teguh kerjaan negeri sembilan malaysia yg mejemput adat ke bumi minang..dan dari nama2 atau sitilah adat tanah ulayat, ninik mamak dll membuktikan bungo memiliki sejarah dan kultur yg tidak terpisahkan dengan minangkabau

yang pasti keberadaan Adat Istiadat lebih dulu ada ketimbang keberadaan agama, ketika kita menerima bahwa adat istiadat kita membaur dengan agama artinya kita terburu-buru menentukan titik adat istiadat itu sendiri, tidak menjadi soal ketika ada yang mengatakan demikian bahwa "adat bersendi syara, sara bersendi kitabullah" padahal adat istiadat memiliki nilai keyakinan sendiri bahkan lebih tua dari agama yang baru hadir di bumi nusantara,... ini perlu di tinjau lagi bagi saya agama tetaplah agama adat tetaplah adat,... minang kabau biarkanlah minang kabau Jambi tetaplah Jambi,...

mantap sangat membatu untuk menyelesai kan tgas komunikasi antar budaya

nama adat bungo tu apo lah yoo

Posting Komentar