KARAKTERISTIK WILAYAH KABUPATEN MUARA BUNGO
Wilayah adat Kabupaten Bungo yang
kini kita kenal Kaabupaten Bungo pada masa pemerintahan Belanda dahulu,
termasuk kedalam wilayah bekas Onder Afdeeling Muara Bungo. Disamping itu,
sudah diketahui bahwa penduduk yang mendiami atau berdiam dalam bekas Onder
Afdeeling Muara Bungo, menyebut dirinya orang batin.
Menurut H. M. Thaib, RH
anggota penasehat Lembaga Adat Privinsi Jambi, dalam makalahnya menyebutkan
orang batin itu adalah penduduk asli yang berasal dari Melayu Tua yang mendiami
anak-anak sungai Batanghari.
1.2.1. Pola pemukiman
Pada umumnya rumah di
pemukiman asal ( desa ) berbentuk rumah adat, atapnya berbentuk kajang lako
dengan bubung lekung. Rumah adat ini bertiang tinggi dan tiak terletak di atas
sendi batu. Dibawah rumah adat menyimpan barang – barang atau keperluan rumah
tangga.
1.2.2. Adat membangun rumah
Pembangunan diatas tanah batin
harus memberitahu kepala dusun atau Rio, dan tetap milik dan langsung diurus
atau dipegang oleh batin.
Ada beberapa persyaratan
penegakan rumah, yaitu memotong hewan dan darahnya dipercikkan pada tiang tengah,
ada gantungan kelapa, tebu, pisang dan lain – lain, namun syarat – syarat
seperti ini telah beransur menghilang. Begitu pula dari bentuk rumah itu
sendiri, dari bentuk bertiang tinggi,
kini rumah itu tidak bertiang lagi ( disebut rumah depok )
1.2.3.
Kebudayaan tanah Adat/Marga/Ulayat
Di Kabupaten Bungo tanah Adat
atau batin masih ada, pertama ; tanah – tanah menurut sepanjang batang air ke
hilir dan ke hulu dusun, itu tanah batin untuk empat anak negeri, baumo atau
beladang, tidak boleh ditanam dengan tanaman keras dan kedua ; hutan rimbo di
talang itu kepunyaan batin setempat, menurut batas – batas tertentu dengan
daerah – daerah sepadannya, keair nan bepadan lentak, ke darat nan bersepadan
mentaro.
1.2.4. Adat secara umum
Secara umum norma dan nilai
adat istiadat yang dianut masyarakat Kabupaten Muara Bungo relatif sama dengan
Kabupaten lain dalam Provinsi Jambi yaitu ”adat bersendi sarak, sarak bersendi
kitabullah, sarak mengato adat memakai”. Namun demikian perbedaan – perbedaan
itu terletak pada dialeg dan perbedaan arti atau pemakaian kata – kata tertentu
yang dalam adat dikenal dengan ”adat samo iko pakai balain”. Oleh karena itu
adat dipegang oleh ninik mamak secara turun temurun dan dipatuhi oleh penduduk
yang berdiam dalam wilayah persekutuan Hukum Adat Bungo. Adat Istiadat itu
tidak pernah bertentangan dengan peraturan-peraturan pemerintah, karena antara
nenek mamak selaku pemegang adat selalu ada kerja sama dan saling pengertian
dengan pihak pemerintah. Yang dikenal dengan seloko adat yang berbunyi : Adat
ditangan Nenek Mamak Undang ditangan Rajo ( Pemerintah ).
Sebagai penuntun perikehidupan
dalam masyarakat adil dan makmur, bahagia lahir batin didunia dan akhirat, maka
dikenal dengan seloko adat yang berbunyi : Adat bersindi syarak, syarak
bersendi kitabullah. Syarat mengato, adat memakai
Kedua seluko adat tersebut
diatas memperlihatkan jalinan yang erat antara adat, agama dan aturan
pemerintah. Demikian pula, antara pemimpin adat, ulama dan pemerintah. Dalam
bahasa adat, ikatan yang erat itu disebut Tali nan bapintal tigo.
1.3. ADAT ISTIADAT DALAM MASA TRANSISI
Adat istiadat telah terbukti
mampu mempersatukan masyarakat dalam menata kehidupan lebih baik, sopan, santun
yang berdasarkan ” adat bersendi syara, sara bersendi kitabullah”.
Upacara – upacara adat di Kabupaten Muara Bungo
pada pokoknya terdiri dari tiga macam :
1.
Upacara
yang bersifat religius magis
2.
Upacara
yang bersifat kebesaran
3.
Upacara
yang bersifat karya
Keterkaitan dengan
sociobiologis terutama merawat anak dan pendidikannya bahwa didalam adat
dikatakan, baris di jawat dari nan tuo, halifah dijunjung dari nabi, manalah
waris nan dijawat dari nan tuo utang/kewajiban orang tua kepada anak sebagai
berikut
1.
Nuak
( nujuh bulan ) dan diazankan dikuping setelah anak lahir
2.
Mandi
kayik ( akikah )
3.
Tindik
dabung
4.
Sunat
Rasul
5.
Mengantar
anak mengaji ( pendidikan ) setelah berumur 7 tahun
6.
Mengantar
anak kerumah tangga
Bahwa pada setiap kegiatan
acara mulai dari nuak azan bayi baru lahir, mandi kayik, cukuran, akikah,
tindik dabung dan sunat Rasul senantiasa diadakan acara – acara khusus, dan
mempunyai makna – makna tersendiri, dimana sejak awal telah di isi dengan
nuansa pendidikan agama. Sebagai cikal bakal membentuk pribadi yang luhur,
bertaqwa, sopan santun, dengan arti kata mulai dari kandungan sudah dilakukan
dengan didikan rohani dan jasmani dalam membentuk jati diri sebagai insan yang
berbudi luhur dan bersopan santun terhadap kedua orang tua dan masyarakat dalam
mengarungi kehidupan didunia dan akhirat, sesuai dengan tuntutan adat dan syara.
( Lembaga Adat Provinsi Jambi, 2003 : 81 )
4 komentar:
adat basandi syarak sarak basandi kitabulah .. adalah hukum yg diwarisi dari kerajaan pagaruyung islam hasil kesepakatan ulama dan kaum adat di bukit marapalam dan ini diadobsi oleh kerajaan islam diseluruh nusantara (malaysia : negeri sembilan baca sejarah asliyg masihdipegang teguh kerjaan negeri sembilan malaysia yg mejemput adat ke bumi minang..dan dari nama2 atau sitilah adat tanah ulayat, ninik mamak dll membuktikan bungo memiliki sejarah dan kultur yg tidak terpisahkan dengan minangkabau
yang pasti keberadaan Adat Istiadat lebih dulu ada ketimbang keberadaan agama, ketika kita menerima bahwa adat istiadat kita membaur dengan agama artinya kita terburu-buru menentukan titik adat istiadat itu sendiri, tidak menjadi soal ketika ada yang mengatakan demikian bahwa "adat bersendi syara, sara bersendi kitabullah" padahal adat istiadat memiliki nilai keyakinan sendiri bahkan lebih tua dari agama yang baru hadir di bumi nusantara,... ini perlu di tinjau lagi bagi saya agama tetaplah agama adat tetaplah adat,... minang kabau biarkanlah minang kabau Jambi tetaplah Jambi,...
mantap sangat membatu untuk menyelesai kan tgas komunikasi antar budaya
nama adat bungo tu apo lah yoo
Posting Komentar